![]() |
Pemerhati Perlindungan Hukum terhadap Anak di Nias
Beniharmoni Harefa, S.H.,LL.M
Foto: Dok. Beni Harefa
|
Gunungsitoli HarNi:Anak adalah bagian dari generasi muda yang memiliki peran strategis sebagai generasi penerus sebuah bangsa. Sebagai sebuah kekuatan potensial dan menentukan kelanjutan kehidupan suatu bangsa di masa mendatang, maka diperlukan pembinaan terus menerus demi kelangsungan hidup. Pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka, termasuk perlindungan hukum. (1)
Sejumlah peraturan perundang-undangan diproduksi untuk menjamin terciptanya perlindungan hukum yang optimal terhadap anak. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam rapat Majelis Umumnya pada tanggal 20 November 1989 menyetujui Konvensi Hak-Hak Anak, (2)
sebagai bentuk perhatian khususnya untuk menjamin perlindungan hukum terhadap anak di seluruh dunia. Bentuk perhatian Indonesia atas perlindungan hukum terhadap anak juga kemudian dapat dilihat dengan ditetapkannya peraturan perundang-undangan tentang Perlindungan Anak pada bulan Oktober 2002 melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.
Lalu bagaimana kemudian dalam tataran penerapan, sudahkah peraturan perundangan terkait dengan anak ini teraplikasi dengan optimal ? Khususnya di kepulauan Nias yang pada tahun 2004 dan 2005 dilanda bencana alam (tsunami dan gempa bumi). Tentunya berakibat pada terganggunya stabilitas emosional, psikologis anak-anak yang hidup di kepulauan sebelah barat Sumatera ini. Stabilitas hukum terhadap anak pun ikut terguncang. Hadirnya beberapa Organisasi Masyarakat Sosial (OMS), dirasakan dapat memberikan angin segar pada usaha pembangunan kembali reruntuhan puing-puing kehidupan masyarakat Nias.
Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) sebagai salah satu OMS yang konsen dalam penegakan hak-hak anak di Kepulauan Nias merasakan, pasca tsunami dan gempa bumi yang melanda Nias, penanganan anak yang berhadapan dengan hukum seolah-olah kurang menjadi perhatian dan cenderung diabaikan.(3) Hal ini terbukti, sejak PKPA hadir dikepulauan Nias banyak laporan kasus pelanggaran hak atas anak yang disampaikan melalui Lembaga ini.
Tulisan ini kemudian bertujuan, untuk mengelaborasi sebagian kendala- kendala dalam usaha mengadvokasi kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum di kepulauan Nias tentunya dari perspektif PKPA. Advokasi hukum yang diberikan dapat dipastikan dengan memperhatikan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (anak) agar terus dijunjung tinggi.
Advokasi Kasus Anak Tak Berjalan Mulus
Kepulauan Nias yang terdiri dari 4 Kabupaten dan 1 Kota, berdasarkan data BPS tahun 2005 terdiri dari 712.075 jiwa, mayoritas penduduk pemeluk agama Kristen (93%) dan selebihnya adalah penduduk Agama Islam (6%) dan Budha, Hindu (1%). Dengan mayoritas sumber mata pencaharian utama masyarat sebagai petani dan nelayan.(4) Masyarakat di kepulauan Nias rata-rata berkarakteristik masih menjujung tinggi nilai-nilai adat istiadat. Setiap kecamatan terdiri dari desa-desa yang dipimpin oleh kepala desa. Selain kepala desa ada tokoh adat dan tokoh masyarakat yang berperan penting dalam kelangsungan kehidupan masyarakat, termasuk pada saat anak sebagai bagian dari masyarakat berhadapan dengan hukum.
Berdasarkan catatan PKPA NIAS data kasus anak yang terjadi di kepulauan Nias sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2012 (Juli) sebagai berikut : tahun 2006, anak sebagai korban ada 34 kasus, anak sebagai pelaku 49 kasus. Pada tahun 2007, data kasus anak sebagai korban ada 24 kasus, anak sebagai pelaku 43 kasus. Pada tahun 2008 data kasus anak sebagai korban yakni 33 kasus, anak sebagai pelaku 42 kasus.(5)
Pada tahun 2009 data kasus anak sebagai korban 29 kasus, anak sebagai pelaku 38 kasus. Pada tahun 2010 data anak sebagai korban 26 kasus, anak sebagai pelaku 31 kasus. Pada tahun 2011, data anak sebagai korban 20 kasus, anak sebagai pelaku 28 kasus, sedangkan pada tahun 2012 (Juli) data anak yang tercatat PKPA NIAS anak sebagai korban 25 kasus dan anak sebagai pelaku 14 kasus.
Pada saat anak berhadapan dengan hukum, pada kasus pidana tentunya tidak terlepas dari sistem peradilan pidana yang ada. Kepolisian, Penuntut Umum, Hakim, dan Lembaga Pemasyarakatan merupakan bagian dari sistem yang dianut di Indonesia. (6)Kepolisian di Kepulauan Nias terdiri dari 2 (dua) Polres yakni Polres Nias dan Nias Selatan. Kejaksaan terdiri dari 2 (dua) Kejaksaan Negeri Gunungsitoli dan Kejaksan Negeri Nias Selatan. Adapun Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan di kepulauan Nias terdiri dari 1 (satu), masing-masing Pengadilan Negeri Gunungsitoli dan Lembaga Pemasyarakatan Gunungsitoli.
Dalam mengadvokasi kasus PKPA tentunya menjalin kerjasama dengan beberapa instumen hukum yang ada dalam sistem ini. Dalam pengalaman melakukan advokasi kasus, PKPA sering terkendala dalam hal kerjasama dengan beberapa penegak hukum yang ada ini. Misalnya dalam tingkat penyidikan di kepolisian, masih banyak para penyidik yang belum dibekali dengan mekanisme menyidik terhadap anak, terutama di Polsek (Kepolisian Sektor) di beberapa kecamatan yang ada di kepulauan Nias. Sebagaimana diketahui bersama bahwa penyidikan terhadap anak dibawah umur tentunya sangat berbeda dengan proses penyidikan terhadap orang dewasa.(7) Diperlukan pemahaman dan penjiwaan terhadap anak disebabkan kondisi kejiwaan dan mental anak pada umur ini, masih sangat labil dan belum matang.
Pernah dalam suatu kasus yang ditangani oleh Polsek, anak-anak banyak diam, menjawab tidak tahu saat dilakukan penyidikan, bahkan tidak jarang anak yang berhadapan dengan hukum ini berbohong dihadapan penyidik. Namun setelah dilakukan wawancara secara khusus dengan staf PKPA, si anak dengan pelan-pelan menyampaikan fakta yang sebenarnya, dan mengaku takut menyampaikan fakta tersebut dihadapan penyidik karena terus dibentak dan ditakuti. Stereotype masyarakat terhadap polisi yang kurang bersahabat juga mempengaruhi paradigma anak-anak, sehingga dapat menghambat proses pengungkapan fakta-fakta hukum yang sebenarnya. Bahkan sebelum penyidikan dimulai anak-anak suka ditakuti oleh orangtuanya tentang ketidakramahan polisi.
Demikian seterusnya pada proses hukum di tingkat kejaksaan, bahkan pada pemeriksaan di tingkat pengadilan anak lebih yakin bila didampingi oleh orangtuanya dan juga pendamping dari PKPA Nias. Oleh karenanya dibutuhkan personil-personil penegak hukum yang lebih ramah anak. Tentunya penegak hukum ramah anak ini diperoleh dengan pelatihan dan pendidikan khusus.
Pengalaman lainnya dalam hal perlindungan hukum terhadap anak di kepulauan nias, terkait respon masyarakat terhadap kasus-kasus anak yang terjadi di nias. Masyarakat khususnya orangtua lebih sering memilih pasif apabila terjadi kasus yang terjadi pada anak. ”Sokhi mate moroi aila” artinya lebih baik mati dari pada malu. Lebih baik memilih diam daripada malu dilihat oleh orang lain, jika terjadi kasus-kasus yang terjadi pada anak, padahal hal tersebut merupakan pelanggaran hak-hak atas anak.
Dalam suatu kasus yang pernah ditangani PKPA NIAS, seorang anak berumur 13 tahun tiba-tiba mengalami perut besar dikarenakan hamil di luar nikah. Hal ini kemudian baru dilaporkan oleh orangtuanya kepada pihak yang berwajib (kepolisian) setelah kandungan si anak sudah hampir 7 bulan. Setelah didampingi oleh PKPA NIAS, orangtua mengaku malu untuk menceritakan perubahan fisik yang terjadi pada anaknya karena dianggap aib, sehingga baru dilaporkan pada pihak kepolisian karena takut pada keselamatan si anak. Hal ini kemudian yang menjadi kendala dalam penyidikan kasus ini, karena terlalu lama dilaporkan sehingga orang yang diduga pelaku sempat melarikan diri dari daerah itu. Sehingga sampai si anak melahirkan (di RS Gunungsitoli dengan pendampingan dari PKPA), ayah dari bayi yang dilahirkan ini masih belum jelas keberadaannya.
Belajar dari kasus ini, dapat dipastikan bahwa kesadaran masyarakat (orangtua) dari anak-anak di kepulauan Nias terhadap penegakan hak-hak anak masih terbilang rendah. Karena masih terikat dengan adat istiadat yang kental maka lebih memilih pasif, diam dan terkesan tidak ingin mengungkapkan kasus-kasus yang terjadi pada anak-anak, dengan pertimbangan agar tidak mencemarkan nama keluarga di mata masyarakat.
Masih terkait dengan adat istiadat, orangtua juga sering menjadikan adat istiadat sebagai sarana untuk menjadikan anaknya objek mendapatkan keuntungan. Tidak jarang dalam beberapa kasus pencabulan atau pemerkosaan yang ditangani oleh PKPA NIAS, orang tua korban memilih menempuh perdamaian dengan pelaku. Orangtua korban tentunya mendapat imbalan ganti kerugian dari pelaku. Setelah melaporkan kasus anaknya di pihak kepolisian, dan pelaku ditangkap, orangtua korban kemudian menempuh jalan kekeluargaan dengan pelaku.
Tentu dapat dipastikan dalam perdamaian tersebut adanya rupiah (ganti rugi) yang harus dibayarkan oleh pelaku kepada keluarga korban. Ganti rugi ini kemudian dijadikan alasan oleh orangtua korban untuk membayar biaya adat istiadat karena kasus ini sudah diketahui oleh masyarakat. Rupiah yang telah dibayarkan oleh pelaku itu akan dibagi-bagikan kepada tokoh-tokoh adat, agama, tokoh masyarakat dan sebagainya. Sehingga tidak jarang si anak (korban) tidak mendapat bagian apa-apa dari perlakuan orangtuanya yang menjadikannya sebagai objek untuk mendapatkan keuntungan.
Penyelesaian kasus hukum anak dengan ganti kerugian ini kemudian menjadikan adanya ketidakpastian hukum. Adanya ketidakjelasan besarnya jumlah ganti rugi yang diberikan pelaku kepada keluarga korban. Sehingga pelaku dan keluarga korban sering melakukan tawar menawar dalam menyelesaikan kasus seperti cara ini. Dan lagi-lagi anaklah yang menjadi korban dari cara-cara seperti ini.
Sebongkah Harapan untuk Penegakan Hukum terhadap Anak di Kepulauan Nias
Penegakan hukum terhadap anak di kepulauan Nias tentunya tidak terlepas dari sistem hukum yang ada dan berlaku di Indonesia (Nias pada khususnya). Sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman dalam bukunya “American Law : What is a Legal System” bahwa sistem haruslah ditelaah sebagai suatu kesatuan yang meliputi tindak re-evaluasi, reposisi, dan pembaharuan (reformasi) terhadap struktur (structure), substansi (substance) hukum, dan budaya hukum (legal culture). Keterpaduan (integrated) dari sistem hukum tersebut selayaknya dilakukan secara simultan, integral, dan paralel.(8)
Struktur (structure) yang dimaksudkan oleh Friedman, bila dikaitkan dengan penegakan hukum terhadap anak, meliputi perbaikan segala kelembagaan atau organ-organ yang menyelenggarakan peradilan pidana sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Kepolisian, Kejaksan, Hakim, dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari struktur tersebut harus lebih profesional dalam melindungi dan menegakkan hak-hak anak yang ada di kepulauan Nias. PKPA NIAS sebagai organisasi masyarakat bertugas mengawal dan mengawasi kasus yang ditangani oleh struktur tersebut. Pendampingan yang dilakukan oleh PKPA NIAS kiranya dapat memberikan jaminan pada perlindungan hak-hak anak yang ada di kepulauan NIAS.
Terkait dengan substansi (substance) hukum, peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia dirasakan sudah dapar mengakomodir setiap kasus yang ada saat ini. Kendati tetap juga menjadi kendala dikarenakan faktor penegak hukumnya (struktur) yang ada tidak dapat menegakkan hukum (supremasi hukum) sebagaimana yang diharapkan oleh pembuat undang-undang.
Apabila menyorot Budaya hukum (legal culture) yang berkembang di masyarakat kepulauan Nias, dari pengalaman PKPA NIAS dalam mengadvokasi kasus di kepulauan ini, maka ditemukan masih rendahnya tingkat pemahaman masyarakat dalam penegakan hukum terhadap anak. Masyarakat Nias masih berpikiran malu dan memilih diam daripada mengungkapkan kasus yang menimpa anaknya. Setiap kasus yang menimpa anaknya masih dianggap tabu dan aib untuk diungkapkan sehingga akan sulit dalam tahap penanganannya.
Mengidentifikasi sebagian kendala-kendala dalam pengalaman mengadvokasi kasus yang ditangani PKPA Nias, bertujuan untuk menemukan suatu terobosan baru dalam hal penegakan dan perlindungan hukum terhadap anak-anak di kepulauan Nias. Sehingga diharapkan dapat ditemukan suatu jalan keluar yang dapat memberikan sebongkah harapan untuk penegakan hukum terhadap anak di kepulauan Nias.
Bahan Bacaan
- Marjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana:Kumpulan Karangan Buku III, Fakultas Hukum UI Jakarta.
- Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta.
- IGM Nurdjana, 2010, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi “Perspektif Tegaknya Keadilan melawan Mafia Hukum”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
- Ima Susilowati dan Tim Penyusun, 2003, Pengertian Konvensi Hak Anak, UNICEF.
- Meuthia Fadila dan Tim, tt, Penelitian Kekerasan Terhadap Perempuan dan Pernikahan Dini di Nias Sumatera Utara, PKPA.
Peraturan perundang-undangan
1.
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2.
Penjelasan UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
- Mahmul Siregar dan Tim Penyusun, 2007, Pedoman Praktis Melindungani Anak dengan Hukum Pada Situasi Emergensi Dan Bencana Alam, PKPA, hlm. 3
- Ima Susilowati dan Tim Penyusun, 2003, Pengertian Konvensi Hak Anak, UNICEF.
- Op.Cit, Mahmul, hlm. 3
- Meuthia Fadila dan Tim, tt, Penelitian Kekerasan Terhadap Perempuan dan Pernikahan Dini di Nias Sumatera Utara, PKPA, Hal 19-20
- Berdasarkan registrasi Kasus Unit Advokasi PKPA NIAS
- Pada dasarnya, istilah sistem peradilan pidana pertama kali dikemukakan oleh pakar hukum pidana dan ahli hukum hukum di Amerika Serikat dalam studi criminal justice science. Menurut Marjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menangguangi masalah kejahatan. Lihat dalam Marjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku III, Fakultas Hukum UI Jakarta hlm. 84-85. Bandingkan dengan Romli Atmasasmita, yang menyatakan, bahwa Marjono tidak membedakan istilah pengendalian dan penegakan hukum sedangkan menurutnya bahwa kedua istilah tersebut memiliki makna yang jauh berbeda. Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, hlm. 4.
- Penjelasan Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
- IGM Nurdjana, 2010, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi “Perspektif Tegaknya Keadilan melawan Mafia Hukum”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 374
@Beniharmoni Harefa 2012