![]() |
Foto Acara Penyerahan Bowo (jujuran) di Nias Foto: @2012 HarNi |
Gunungsitoli HarNi, 15/09/12.
Peluncuran Film Lua-Lua Mböwö Sebua (Akibat Jujuran Tinggi) episode Ke-3 dan 4,
adalah sebuah penantian masyarakat Nias yang penasaran setelah menonton episode
pertama dan kedua, dimana dibeberapa
media online khususnya di NBC dan jejaring sosial facebook saat Produser
sekalian Sutradara Ponti Gea diwawancarai dan sekalian publikasi peluncuran
Film Lua-lua Mböwö Sebua episode ke-3 dan 4, banyak pengunjung yang mengomentari
serta menanyakan kapan peluncuran serta dimana saja VCD film tersebut itu bisa
didapatkan.
Film Lua-lua Mböwö Sebua telah banyak menyita perhatian masyarakat
Nias karena dalam episode pertama dan kedua, jelas-jelas diceritakan
proses-proses Famaigi Niha dan famatö böwö (proses penjodohan dan menentukan
jujuran) dan hal tersebut adalah merupakan realita proses adat pernikahan yang
sering ditemui di Kepulauan Nias.
Film
kolosal Lua-lua Mböwö sebua, adalah sebuah Maha Karya Anak Nias yang mengangkat
kepermukaan realita-rialita proses adat pernikahan di Nias yang dikemas dalam
sebuah film, dan dengan profesionalnya dan kreativitas pemilik Constellazione
Entertainment tersebut, menceritakan
bagaimana keluarga Ama/Ina Nitunö menjodohkan anak laki-lakinya yang bernama Nitunö
kepada Liwiö anak gadis Ama/Ina Mbosi (nama-nama tersebut adalah nama
dalam film Lua-lua Mböwö Sebua) yang dilatarbelakangi dengan sebuah perkenalan
Ina Nitunö dan Ina Mbosi, saat Ina Mbosi hendak mencari penjual perak (firö) di
Luaha Zaukhu (nama desa dalam Film
tersebut) bersama anak gadisnya si Liwiö, dan saat itu Ina Nitunö menawarkan
perak, dengan ketentuan perak itu tidak dijual tetapi perak itu sudah ada
tujuan penggunaannya bagi keluarga Ina Nitunö untuk masa depan anak-anaknya, dalam
arti saat keluarga Ina Mbosi membutuhkan boleh digunakan dan pada saat nantinya
Ina Nitunö butuh maka perak itu dikembalikan oleh Ina Mbosi. Berawal dari
perkenalan tersebut Ina Nitunö menaruh sebuah perhatian kepada si Liwiö anak
gadis Ina Mbosi dan berkeinginan menjodohkan anaknya Nitunö kepada Liwiö.
Singkat cerita keinginan Ina Nitunö itupun diwujudkan dengan mereka berkunjung
kerumah Ina Mbosi di Dalu Nidanoi
(nama desa dalam Film tersebut) dan
keseriusan pembicaraan pun terjadi di antara Ina Nitunö dan Ina Mbosi.
Pembicaraan
Ina Nitunö dengan Ina Mbosi pun ditanggapi serius juga oleh Ama Nitunö, dengan
mengutus seorang perantara untuk menanyakan secara serius tanggapan dari
keluarga Ama/Ina Mbosi. Kunjungan perantara itupun ditanggapi baik oleh ama
Mbosi dengan memilih juga perantara dipihak mereka, yang nantinya perantara ini
akan menjadi Si’o/Siso bahuhuo (orang
perantara dari kedua belah pihak) bila nanti pembicaraan tentang perjodohan ini
itu berlanjut. Keadaan ekonomi keluarga Ama/Ina Nitunö yang pas-pasan,
Nitunö berkeinginan membantah niat baik
orangtuanya itu, namun keinginan orangtua Nitunö dan rasa malu untuk
mengundurkan pembicaraan tersebut, dengan berat Nitunö terpaksa nurut dengan
orangtuanya meskipun Nitunö sendiri sudah memprediksi kelak apa yang akan
mereka alami jika pernikahan itu terwujud karena secara pandangnya keluarga
Liwiö adalah keluarga terpandang dan keturuan Bangsawan di Dalu Nidanoi. Bantahan juga timbul dari Liwiö,
karena Liwiö ingin melanjutkan studi di bangku perkuliahan dan masih belum ada
keinginan untuk menikah di usia dini. Pembicaraan yang serius dari kedua belah
pihak yang memperkecil kemungkinan keinginan Nitunö dan Liwiö untuk membatalkan
rencana perjodohan itu.
Rencana
perjodohan Nitunö dengan Liwiö berlanjut dengan tahap penentuan besar kecilnya
jujuran dan jujuran yang ditentukan oleh keluarga Liwiö pun disepakati oleh
keluarga Nitunö. Keluhan Liwiö yang terus menerus kepada kedua orangtuanya
untuk membatalkan perjodohan itu, akhirnya dikabulkan oleh Ama/Ina Mbosi dengan
cara mencarari jalan keluar agar keluarga ama/ina Nitunö bisa mundur. Jalan
yang ditempuh oleh keluarga Ama/Ina Mbosi dengan saudaranya yaitu mereka ingin
menambah jujuran yang diminta kepada pihak Nitunö, namun jujuran yang kembali
diminta oleh keluarga Liwiö tetap disetujui oleh pihak Keluarga Nitunö,
meskipun hal itu dibantah keras oleh anak-anaknya, akan tetapi karena rasa malu
Ama Nitunö kepada masyarakat dan keluarga Ama/Ina Mbosi, dia bersin keras untuk
tetap melanjutkan rencana perjodohan itu meskipun mereka harus meminjam uang
berbunga. Episode berikutnya menceritakan proses adat-istiadat yaitu Olola
Folau Bawi, Belihae, Olola Zo’I Mbowö, Fanika era-era mböwö dan Fanendro’ö bulu
nohi safusi yang diluncurkan beberapa hari yang lalu pada tanggal 13/09/12.
Namun di episode 1 dan 2 kita sudah mengerti akar dari akibat mahar yang tinggi
yang diceritakan dalam episode selanjutnya.
Dari
cerita film Lua-lua Mböwö Sebua episode 1 dan 2 tersebut kita banyak memetik
pelajaran yang menjadi bahan pertimbangan untuk kita masyarakat Nias dalam
menentukan besar kecilnya jujuran. Berikut saya menarik garis besar atau akar
dari Akibat Mahar Tinggi yang diceritakan dalam film tersebut:
- Pernikahan tidak didasarkan oleh rasa saling cinta diantara laki-laki dan perempuan atau mereka dijodohkan oleh orang tua mereka. Yang perlu kita ambil pelajaran dalam hal itu adalah menghapuskan kebiasaan untuk menjodohkan anak tanpa ada kemauan dan rasa saling cinta dari laki-laki dan perempuan, tapi mari kita memberi kebebasan kepada anak kita yang sudah dewasa untuk memilih dan menentukan masa depannya dalam memilih pasangan hidup.
- Status Bangsawan, Ekonomi serta jabatan Pihak keluarga
perempuan yang biasanya menjadi patokan dalam menentukan jujuran. Yang perlu kita ambil pelajaran dalam hal itu
adalah ada baiknya jika status bangsawan, status ekonomi dan jabatan jangan
dibawa-bawa dalam menentukan jujuran tetapi rasa saling mencintai dan saling
menerima apa adanya antara laki-laki dan perempuan, antara keluarga laki-laki
dan keluarga perempuan lah yang dijadikan patokan atau takaran menentukan
jujuran yaitu Fa’omasi. Jika
takarannya adalah Fa’omasi maka tentu kedua belah pihak tidak membebankan beban
berat kepada masing-masing pihak, numun kesejahteraan dan kebahagiaan anak
merekalah yang mereka pikirkan. Apa gunanya kita meminta jujuran tinggi, serta
melawan jujuran tinggi jika kelaknya nanti kehidupan anak kita, terutama kedua
insan yang akan membentuk keluarga baru menderita untuk membayar utang-utang
yang dipinjam saat pesta besar-besaran serta böwö yang dibayarkan kepada
masing-masing saudara keluarga pihak perempuan.
- Sökhi Mate Moroi Aila. (lebih baik mati dari pada malu) adalah peribahasa Nias yang sebaiknya jangan dipakai dalam melawan jujuran. Pelajaran yang kita petik dalam hal itu adalah kiranya kita sebagai orangtua jangan memaksakan kehendak jika secara materi tidak sanggu untuk melawan jujuran yang diminta. Kebiasaan kita di Nias, kita tak berpikir panjang untuk bertindak melawan jujuran tinggi demi mempertahankan gengsi atau rasa malu. Namun apa gunanya jika hanya untuk mempertahankan gengsi dan rasa malu sesaat tetapi kita telah mengorbankan kebahagian masa depan anak kita sendiri.
- Menikahkan anak dibawah umur. Secara undang-undangnya tidak ada larangan menikahkan anak dibawah umur, numun perlu kita sadari bahwa menikahkan anak dibawah umur rentang sekali dengan banyak masalah, baik dia secara biologis, ekonomi dan secara wawasan diusia dini mereka masih belum bisa untuk membekali keluarga mereka. Anak dibawah umur mestinya orangtua memberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan, dan mengembangkan diri sehingga anak setelah dewasa sudah siap dan matang dalam membina sebuah rumah tangga. Dan ada baiknya kepada ibu-ibu jika anak kita masih dalam usia dini hindari lah untuk bercanda-canda soal menjodohkan anak, karena berawal dari canda bisa-bisa menjadi serius dan kerena malu untuk mengulur kata-kata jadinya anak jadi korban pernikahan dini.
- Lakhömi Bazima’ö-ma’ökhö (Kemeriahan pesta). Untuk melayani para tamu dan penatua adat, fa’uwusa dan fobanua pihak keluarga perempuan sering berlebihan meminta jujuran dengan pertimbangan pesta yang meriah dan berhari-hari tanpa memikirkan kemampuan dari keluarga pihak laki-laki dan hal serupa juga sering dilakukan oleh Pihak keluarga laki-laki saat mengadakan resepsi atau syukuran dirumah penganten laki-laki. Pelajaran yang bisa kita petik yaitu pesta atau resepsi pernikahan hendaknya dilakukan sesuai kemampuan yang bisa disanggupi.
- Böwö atau sinema Uwu, dan Fatalifusöta. Pihak keluarga perempuan biasanya juga mempertimbangkan sinema Uwu (paman dari pengantin perempuan) dan sinema dalifusö (saudara ayah pengantin perempuan) dalam menentukan jujuran. Hal ini sering kita alami di dalam proses adat di Nias, Uwu dan talifusö sering mematok bagiannya atau sinema ra. Bahkan jika nilai böwö yang diterima uwu dan talifusö tidak mengena dihati mereka maka sering terjadi perkelahian dan Uwu serta talifusö tidak mengahadiri pesta pernikahan tersebut karena bagiannya tidak sesuai dengan keinginannya.
- Jumlah babi yang harus dipotong terlalu banyak untuk sebuah pesta pernikahan adalah merupakan akar dari Lua-lua Mböwö sebua. Hal ini bisa terjadi karena mengingat lakhömi atau kemeriahan pesta dan termasuk dari nilai adat. Biasanya kemeriahan pesta pernikahan di Nias juga sering diukur dari segi jumlah babi yang dipotong, hal ini digunakan untuk menghargai para undangan dan Uwu serta Talifusö dan fobanuasa. Semakin banyak pihak yang perlu diberi penghargaan dalam sebuah pesta pernikahan maka semakin banyak babi dipotong, hal ini berkaitan dengan jumlah simbi mbawi (rahang babi) yang merupakan penghargaan yang mutlak dari segi makanan untuk tamu-tamu terhormat di Nias. Pelajaran yang bisa kita ambil dari hal tersebut adalah penghargaan yang paling mendasar bukanlah hanya dari segi makanan atau daging yang dihidangkan, akan tetapi pelayanan serta penyampaian dengan kata-kata dalam bentuk penyambutan para tamu yang perlu ditingkatkan, seperti ada peribahasa Nias mengatakan Ami Li Moroi Ba gö (lebih enak penyambutan dengan kata-kata dari pada makanan yang dihidangkan), karena apa gunanya kita menghidangkan makanan istimewa kepada para tamu jika selesai pesta, yang didengar oleh para tamu tersebut adalah sengsara dari kedua mempelai akibat lilitan utang membiayai pesta besar.
Sedikitnya
beberapa akar dari akibat mahar tinggi sesuai dalam
film lua-lua mböwö sebua yang bisa saya utarakan dalam episode ke satu dan
kedua beserta apa-apa saja pelajaran yang bisa kita petik, namun masih banyak
lagi pelajaran-pelajaran lain yang bisa kita sikapi dalam menentukan jujuran
atau böwö di Nias dan bagaimana caranya untuk keluar dari kungkunan jujuran
tersebut, semua kembali kepada kita masyarakat Nias, bagaimana kita menyikapi
apa yang penting dilakukan apa yang tidak perlu.
Film Lua-lua mböwö Sebua Produksi CZ
Entertainment yang disutradarai oleh Ponti Gea perlu di apresiasi oleh
masyarakat Nias dimanapun kita berada. Melalui tulisan ini saya Berkati Ndraha,
S.E. (BNC Ono Niha) mengucapkan banyak
terimakasih kepada CZ Entertaiment dan kepada bang Ponti Gea yang telah
terinspirasi untuk mengangkat kepermukaan salah satu realita dan tradisi kita
di Nias yang selama ini menjadi suara hati para Putra-Putri Nias, akan tetapi di
anggap biasa-biasa saja oleh masyarakat kita di Nias, namun akibat Jujuran
tinggi ada banyak Putra dan Putri Nias yang sudah berkeluarga jatuh miskin terlilit
utang pernikahan, mencari cara pintas menikah di pencatatan sipil, perempuan
(istri) jadi objek penindasan suami gara-gara memikirkan utang-utang keluarga,
bahkan ada banyak gadis-gadis dan pria-pria Nias yang tidak menikah sampai tua
akibat jujuran tinggi. Maka tidak berlebihan jika film Lua-lua Mböwö sebua
dikatakan sebuah Maha Karya Anak Nias karena film tersebut kita yakini bisa
memberi pencerahan dan kesadaran kepada kita masyarakat Nias dalam soal jujuran
pernikahan. Juga melalui tulisan ini saya menghimbau kepada tokoh adat, tokoh
masyarakat dan kepada orang tua kami di Nias supaya mengadakan penyederhanaan
dalam jujuran pernikahan tanpa mengurangi nilai dan unsur budaya kita sebagai
Ono Niha. Höli-hö…li…!! Wanguhugö sihasara tödö……. Huuuuuuu!!!! Ya’ahowu @ 2012 Berkati Ndraha.