Nias, HarNi : Dalam kehidupan sehari-hari kita sering di perlawankan dengan perasaan kita sendiri, bahkan banyak orang mengatakan bahwa musuh utama dalam kehidupan ini adalah perasaan kita sendiri. Hal demikian hampir serupa dengan apa yang kita hadapi bagi sebagian orang yang merasa perlunya gengsi demi mempertahankan harga diri. Gengsi dan harga diri mempunyai pengetian yang sama, namun dalam penerapannya pada kehidupan sehari-hari seringkali diartikan berbeda.
Pertama-tama mari kita lihat arti dari kedua kata tersebut, menurut pengertian kamus besar Bahasa Indonesia. “Gengsi adalah kehormatan dan pengaruh harga diri, martabat. Sedangkan harga diri adalah kesadaran akan betapa besarnya nilai yang diberikan kepada diri sendiri.
Dalam prakteknya saya sering menjumpai banyak orang mengorbankan harga diri demi mempertahankan gengsi. Tentu hal tersebut total salah karena apa artinya kita mempertahankan gengsi jika hal-hal yang jauh lebih baik terabaikan dan sia-sia.
Kehidupan kita orang Nias memang tak jauh dari
yang namanya “fagölö-gölö nga’ötö
RajoSirao” terjemahan bebas: sama-sama keturunan Raja Sirao (menurut cerita
rakyat orang Nias), namun zaman telah berubah silsilah kerajaan dan kearifan
leluhur telah berlalu. Orang kita Nias mengenal sebuah peribahasa
Nias yaitu: “Sökhi mate maroi aila” dalam
terjemahan bebas Bahasa Indonesia “Lebih
baik mati dari pada malu” menurut hemat saya peribahasa atau amaedola ini
dulu sering kali dipergunakan dan dipraktekan oleh leluhur kita dalam proses
adat dan dalam menghadapi sebuah masalah, maka kata-kata ini sering dijadikan
sebagai peneguh dan penyemangat diri untuk menerobos sebuah tantangan atau
masalah. Yang salahnya, peribahasa Nias ini sampai sekarang masih banyak yang
mempertahankannya dan sering menjadi peneguh dan penyemangat sehingga apapun
resiko dari sebuah tindakan yang dilakukan dianggap sepele, “kudia bareto” (perhitungan dikemudian hari) yang terpeting adalah dipandangan orang
banyak tindakan yang dilakukannya itu adalah sebuah yang luar biasa dan tidak
merendahkan harga dirinya demi mempertahankan sebuah yang namanya gengsi dan
rasa malu.
- Dalam sebuah proses bawa ma böbö fasitenga bo’ö di Nias (proses adat pernikahan) sebelum tahap pernikahan tentu telah ada kesepakatan dari kedua belah pihak antara pihak laki-laki dan perempuan, baik dia yang dijodohkan oleh orang tua tanpa diketahui laki-laki dan perempuan yang mau dijodohkan, atau karena ada rasa saling suka dari laki-laki dan perempuan sebagai calon suami istri. biasanya faktor status ekonomi dan pekerjaan manjadi sebuah yang sangat diperhatikan oleh pihak laki-laki dan perempuan. Jika pihak laki-laki memiliki status ekonomi yang lemah sedangkan status perempuan dari keluarga berada dan terpandang maka jujuran yang besar dipilih menjadi cara halus untuk memutuskan hubungan pembicaraan tentang perjodohan, namun karena rasa malu dan rasa gengsi dari pihak laki-laki terpaksa hesula siso föna ha banilangögö sehingga efeknya memiskinkan keluarga pihak laki-laki dan terutama pasangan suami istri yang baru menikah karena membayar utang.
- Cara hidup yang berlebihan karena tuntunan gengsi dan fa’aila terpaksa ngutang, yang penting dipandangan orang dikenal sebagai orang berada dan ekonomi mampan meskipun tai lö badoyo
- Karena tuntunan gaya hidup dan gengsi berlebihan kita sering malu untuk memulai dan merintis usaha dari kecil, sehingga rela untuk ngutang dan mengambil uang panas untuk buka usaha yang besar tanpa perhitungan kelayakan usaha, akibatnya usaha tak sejalan dengan apa yang diharapkan dan putus ditengah jalan namun uang panas serta nono gefe tetap jalan akibatnya jatuh miskin.
- Ahilu mengerjakan pekerjaan susah dan kotor karena aila.
- Anga-anga
sebua tapi
ambö folohi dan malas berusaha ”sökhi mate moroi aila” jadinya malu
pulang kampung dan menjadi budak di perantauan.
- Molau niha siso ba ikarangai göi khönia niha silö’ö jadinya ngutang untuk menebus rasa malu tersebut.
Contoh-contoh lain masih banyak yang sering yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai Ono Niha, peribahasa atau amaedola Nias “Sökhi mate moroi aila” sebaiknya jangan menjadi patokan bagi kita orang Nias. Memulai dari nol dan hidup sederhana demi kehidupan yang layak dimasa depan yang seharusnya jadi pola pemikiran kita untuk membangun karakter dan pola pikir kita yang lebih maju. Gaya hidup dan mempertahankan gengsi sesaat kadang-kadang membuat kita tak habis pikir apa dampak dan akibatnya kedepan, sebab tak ada gunanya kaya dan mempertahankan gengsi sesaat jika sepanjang kehidupan kita menjadi terbengkalai dan kita berat untuk keluar keterpurukkan ekonomi dan moral yang merosok. Untuk merintis dan memulai sebuah usaha yang menurut kita dianggap orang lain hina dan rendah belum tentu itu benar! melawan perasaan pesimis dan memutuskan urat malu itu yang peting kerena lebih baik mundur satu langkah dengan usaha dan keuletan maju dua atau tiga langkah adalah strategi untuk keluar dari kemiskinan. Gengsi dan malu=Kesombongan= Dosa=Kemiskinan=Neraka.