![]() |
Rokok dan Afo Foto: BNC _Ono Niha |
Rokok atau Roko (terjemahan Nias) adalah suatu yang tidak asing dengan bagi
seluruh lapisan masyarakat Nias yang menikmatinya mulai dari masyarakat ekonomi atas, menengah
dan bawah.
Tingkat konsumsi rokok lebih tinggi dikalangan masyarakat ekonomi
bawah dibanding dengan masyarakat ekonomi atas. Sirih atau Afo (terjemahan bahasa Nias) semua orang pasti kenal dengan yang
namanya sirih atau afo, namun tingkat konsumsi afo hanya sebagian orang saja
dan di Nias afo biasanya hanya di konsumsi oleh orang tua hal ini dikarenakan
efek dari hasil kunyahan afo menghasilkan ludah warna merah tua yang bisa
merusak penampilan mulut dan gigi juga kesehatan tentunya. Sehingga yang
muda-muda tidak cendrung monganga afo.
Bagi orang Nias rokok dan afo sangat erat
hubungannya dengan adat dan budaya Nias, terutama dalam pergaulan dan persahabatan,
rokok dan afo adalah sebuah media yang sering menjadi sumange (penghormatan) bagi
tamu atau teman. Bahkan orang yang tidak merokok dan monganga afo (mengunyah sirih) bila menerima tamu dan bertamu
selalu selalu memberi sapa “lö roko da
atau lö afo da” (tidak ada rokok atau sirih dari saya yang bisa saya
suguhkan). Biasanya rokok menjadi sebuah penghormatan dan gaya hidup bagi
kalangan muda jika sedang bertamu dan menerima tamu kerabat mereka, sedangkan
afo lebih pada orang tua saja.
Entah bagaimana asal usulnya rokok dan afo
menjadi sebuah media terpenting dan berharga dalam sebuah proses adat
pernikahan di kepulauan Nias. Namun jika melihat kebiasaan kita dipulau Nias
secara tidak pasti, tapi bisa diyakini afo dan rokok bisa menjadi sebuah media sumange karena sebuah kebiasaan dan
budaya sehingga terbawa-bawa dalam proses adat pernikahan di pulau Nias. Yah
secara medis rokok tentunya sangat berbahaya dengan kesehatan baik perokok
aktif maupun perokok pasif dan demikian juga dengan afo. Namun bagaimana bisa membahas
menerapkan UU pelarangan merokok di tempat umum jika rokok telah menjadi budaya dan erat
kaitannya dengan adat Nias?. Nilai kearifan lokal bisa jadi alasan, namun
bagaimana jika rokok bertantangan dengan UU dan firman Tuhan?. Apakah rokok
bisa dihapuskan dari proses adat Nias? Kalau afo mungkin bisa di pertahankan
namun bagaimana dengan rokok?
Bayangkan saja nilai sumange rokok dalam
sebuah adat pernikahan Nias sangatlah besar bahkan disebuah pesta pernikahan di
Nias penganten laki-laki atau marafule
wajib hukumnya menyuguhkan rokok kepada penatua-penatua adat dan kepada orang
tua dan fala’osa pengantin perempuan sebelum mempersembahkan bungkusan sirih
atau bola nafo sebagai sumange. Dan hal ini kita bisa buktikan
betapa rokok erat kaitannya dengan adat Nias dalam sebuah syair maena yang
sering dibawakan pada sebuah pesta pernikahan di pulau Nias saat peserta tari maena minta rokok kepada penganten
laki-laki berikut syairnya “mifolala sa la’oda bawame’e roko da roko si
saribu sara lo mabadu sa peace hasi’ai guda gara da’o roko somasiga” terjemahan
bebas
(mari kita persilahkan ipar kita
(pengantin laki-laki) untuk memberi rokok kita, rokok yang Rp. 1000 per batang,
kami tidak isap rokok peace cuma rokok gudang garam rokok yang kami suka)
Meskipun secara umum peraturan dan
undang-undang ini masih belum di bahas oleh wakil rakyat dan pemerintah daerah
di kepulauan Nias, tetapi jika peraturan dan undang-undang ini telah dibahas
dan di berlakukan ada baiknya juga hal ini disepakati bersama oleh penatua-tua
adat dan tokoh masyarakat Nias, dikarenakan rokok sangat erat kaitannya dengan
adat dan budaya orang kita Nias. Jika undang-undang pelarangan merokok di
tempat umum diberlakukan sudah pasti banyak manfaatnya dan banyak juga yang
merasa hak dan kesenangannya terganggu namun bagimana dengan kebiasaan dan
budaya kita? apakah rokok harus dihapuskan
dari sebuah proses adat pernikahan atau dihapuskan dari budaya dan kebiasaan
kita orang Nias? Hal itu sah-sah saja karena mending adat Nias mempertahankan
dan mengedepankan budaya mamaola Afo
sehingga dalam prosesnya afo menjadi sebuah ikon Sumange baik dalam proses adat maupun dalam keseharian dalam
bergaul dan berteman, meskipun medianya tidak nyata namun sumange li untuk menyuguhkan afo tetap dipertahankan dari pada
memberi sumange li “ya’e roko dan tau lö roko da eeee” mending
”ya’e nafoda atau lö’afo khogu eeee” @ 2012 Berkati Ndraha