oleh :
Beniharmoni
Harefa
Pemerhati Perlindungan Hukum terhadap Anak di Nias
Beniharmoni Harefa, S.H.,LL.M
Foto: Dok. Beni Harefa
|
Sebut
saja AH inisial nama dari seorang anak nakal, umurnya 13 tahun, tertangkap
tangan pada saat hendak mencuri telpon genggam (HP) di sebuah counter tidak
jauh dari Polres Nias. Dari hasil sidang yang digelar di Pengadilan Negeri
Gunungsitoli, terungkap bahwa AH bukan pertama kali tertangkap dan diproses
secara hukum. Sekitar 2 bulan yang lalu AH bebas dari Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) karena sebelumnya dijatuhi putusan 3 bulan penjara juga karena kasus
pencurian. AH yang sejak kecil tidak mengenali siapa orang tuanya ini, terpaksa
harus berhadapan dengan aparat hukum karena perbuatan nakal yang dilakukannya.
Sungguh
suatu ironi, seorang anak nakal berumur 13 tahun seperti AH, harus berhadapan
dengan hukum, bahkan harus berulang kali keluar masuk penjara. Ditambah lagi
ada hal menarik pada saat proses pemeriksaan, AH mengaku lebih memilih ditangkap
dan ditempatkan di Lapas, dibandingkan hidup di luar Lapas. Dengan berdalih berada
di Lapas terasa tenang dan nyaman. Karena meskipun kemerdekaan dibatasi, namun
kebutuhan hidup seperti makanan sudah pasti didapatkan. Bagi anak seumuran AH
yang tanpa orangtua dan tanpa ada yang membiayai, sudah tentu Lapas merupakan
tempat yang tepat dan nyaman, untuk memenuhi kebutuhan perut sehari-hari.
Belajar
dari kasus AH, kita hendak diajak untuk melihat bahwa itulah potret dari
beberapa kasus anak nakal yang ada di negara ini, selain kasus anak nakal
lainnya. Betapa seorang AH lebih memilih tinggal di Lapas dibandingkan hidup
bebas di luar tembok penjara hanya karena alasan tidak mampu mencukupi kebutuhan
hidup sehari-hari. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas kelangsungan
hidup anak seperti AH, yang tanpa orangtua dan kerabat yang mau bertanggung
jawab?
Kalau
kita merujuk UUD 1945 pada pasal 34 ayat (1). Di dalam pasal 34 ayat (1) UUD
1945, secara tegas mengatur tentang fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh Negara. AH sebagai anak yang tanpa identitas orangtua yang
jelas, dapat digolongkan kategori anak terlantar. Sudah cukup jelas bahwa yang
harus bertanggung jawab terhadap anak terlantar dan fakir miskin berdasarkan
UUD adalah Negara. Maka jika Negara “absen” dalam hal memenuhi kewajibannya
terhadap mereka (termasuk anak terlantar), bukankah itu merupakan suatu
ketidakadilan ? Lalu ketika mereka (anak terlantar), harus memenuhi kebutuhan
hidupnya, bahkan sampai berbuat nakal, apakah
mereka harus dipenjara ?
Tulisan
ini kemudian hendak memberikan jawaban sederhana dari pertanyaan adilkah
seorang anak, dipenjara karena kenakalannya?
Siapa Anak Nakal
?
Permasalahan
tentang anak nakal ini akan menjadi bom waktu, jika hanya dipandang sebelah
mata oleh semua pihak utamanya pemerintah. Betapa tidak, akan terjadi
pergeseran paradigma, orang-orang (anak-anak) lebih memilih nakal, dan diproses
secara hukum, daripada memilih hidup sebagai pengangguran dan tidak mendapat
penghidupan yang layak di luar penjara. Lalu permasalahan akan semakin
bertambah, bila anak nakal yang semula hanya nakal tetapi karena ditempatkan di
dalam Lapas, akan menjadi penjahat yang sesungguhnya. Tulisan ini sedikit
mencoba menjawab, bagaimana keadilan hukum yang diberikan kepada anak nakal
dalam sistem peradilan pidana Indonesia ? Apa yang seharusnya (apa yang adil)
diberikan kepada anak, tanpa harus memidana mereka ?
Sebelum
membahas lebih jauh, maka perlu dipahami apa yang dimaksud kenakalan anak. Secara
sederhana dapat dikemukakan kenakalan anak (juvenile
delinquency), merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak
yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, serta
ditafsirkan sebagai perbuatan tercela (Romli Atmasasmita, 1983:23). Sekedar
mengingatkan usia seorang anak berdasarkan Undang-Undang (UU Perlindungan Anak
No. 23 tahun 2002) yakni berumur 0 – 18 tahun. Anak yang berhadapan dengan
hukum, atau anak pelaku kenakalan itu yang kemudian disebut anak nakal.
Di
dalam sistem peradilan pidana anak yang berlaku di Indonesia, anak nakal dapat
dijatuhkan sanksi pidana kendati memang tidak sama dengan sanksi pidana yang
dijatuhkan pada pelaku kejahatan dewasa. Anak dapat dijatuhkan pidana setengah
dari ancaman pidana orang dewasa, apabila terbukti bersalah dan meyakinkan
telah melakukan perbuatan yang secara hukum dilarang. Artinya berdasarkan
aturan hukum negara ini, bukan tidak mungkin anak dapat dimintai
pertanggungjawaban secara hukum atas
kenakalan yang dilakukannya.
Namun
harus dipahami bahwa
anak nakal melakukan perbuatan nakalnya, sebagai
akibat dari ketidakseimbangan lingkungan sosialnya. Perlu ditekankan anak
menjadi nakal, sebagai akibat dari ketidakseimbangan lingkungan sosialnya.
Ketidakseimbangan lingkungan sosial seperti apa ? Kurangnya perhatian keluarga,
lingkungan, utamanya pemerintah adalah contoh lingkungan sosial yang tidak
seimbang. Hal inilah kemudian yang menjadi faktor utama anak-anak melakukan
perilaku menyimpang. Ditambah lagi, kondisi pemikiran yang belum matang dan
jiwa yang masih labil (tidak stabil), juga sangat mempengaruhi anak-anak dalam
bertindak. Maka, dapat dipastikan disaat lingkungan sosialnya sudah “tidak
beres” atau tidak seimbang, perilaku anak tentunya akan mengikuti. Anak menjadi
nakal.
Sudut
pandang kita, melihat seperti apa perbuatan anak nakal, sangat menentukan dalam
menjawab hukuman apa yang adil untuk mereka. Adilkah kalau anak nakal dipenjara
? dari penjelasan di atas, bahwa perbuatan nakal anak, hanyalah sebagai akibat
dari ketidak seimbangan lingkungannya sosialnya, kiranya dapat memberikan pemahaman.
Pemahaman bahwa perbuatan yang dilakukan
anak nakal tidaklah sama dengan perbuatan jahat yang dilakukan oleh seorang
dewasa.
Orang
dewasa yang sudah stabil dalam berpikir dan bertindak, tentunya dapat mengambil
keputusan dalam setiap tindakannya, termasuk jika melakukan kejahatan. Berbeda
dengan anak. Kondisi mental dan kejiwaan anak yang mudah terpengaruh,
menjadikan mereka hanyalah korban dari ketidakseimbangan lingkungan sekitarnya.
Oleh karena itu, perbuatan anak nakal sama sekali tidak boleh disamakan dengan
perbuatan jahat orang dewasa. Dengan demikian, hukuman terhadap mereka juga
tidak sepantasnya disamakan dengan hukuman orang dewasa. Tidak adil bila memenjarakan
anak, sama seperti memenjarakan orang dewasa. Penjara bukanlah tempat yang
tepat bagi anak.
Keadilan,
Kemanfaatan, dan Kepastian
Selain
kasus AH, maka kita dapat merujuk kasus lainnya, sebut saja MA (bukan nama
sebenarnya), umur 16 Tahun (masih tergolong anak) dipidana oleh Pengadilan,
karena terbukti secara sah dan meyakinkan mengedarkan narkoba jenis ganja. Hal
menarik dari kasus yang menimpa MA, dipersidangan terungkap bahwa MA merupakan residiv (orang yang melakukan
pengulangan tindak pidana). Sekitar 2 tahun sebelumnya, MA juga pernah dijatuhi
putusan pengadilan karena melakukan pencabulan. Lalu setelah keluar, MA kembali
ditangkap, karena mengedarkan narkoba jenis ganja. Anak umur 16 tahun ini
mengenal dan ikut dalam jaringan narkoba, di saat dia menjalani hukuman (pemidanaan) di Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) atas kasus pencabulan yang dilakukan sebelumnya.
Dari
kasus MA terlihat bahwa vonis (putusan
hakim) untuk memenjarakan anak nakal seperti MA, seolah tidak memiliki manfaat.
Bahkan tidak menimbulkan efek jera. Bukan efek jera yang terjadi malah
sebaliknya. Anak
nakal yang semula hanya melakukan tindak pidana biasa, setelah menjalani
pemidanaan di dalam Lapas, malah menjadi lebih berani, pintar, menambah teman,
bahkan tidak lama setelah keluar dari Lapas ditangkap lagi oleh aparat, dengan
kasus yang lebih meningkat dari tindak pidana sebelumnya. Sedangkan orientasi
putusan untuk menghukum seseorang yakni harus berdasarkan keadilan,
kemanfataan, dan kepastian hukum. Apakah vonis terhadap anak-anak nakal itu
sudah dirasakan memenuhi rasa keadilan dan kemanfatan? Atau hanya sekedar
menegakkan kepastian hukum semata ?
John Rawls salah seorang
pakar yang berhasil merumuskan perihal keadilan, mengatakan dikatakan adil apabila setiap orang mempunyai hak yang sama
atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua
orang. (John Rawls, 2006:72) Dalam konteks ini, kebebasan dasar yang paling
luas untuk seorang anak antara lain adalah kebebasan anak dalam menjalani
aktivitasnya, bermain, belajar dengan anak-anak lainnya. Maka jelas bukan
merupakan hal yang adil dan bermanfaat, bila seorang anak nakal harus menjalani
sebagian dari kehidupan kecilnya di dalam Lapas atau penjara.
Kiranya
menjadi perhatian dan perlu koreksi kembali, sistem peradilan pidana anak di
Negara ini. Perlu mencari alternatif lain yang benar-benar adil, dalam
memberikan keadilan hukum bagi anak nakal, tidak hanya sekedar mengedepankan
kepastian hukum semata tetapi harus melihat aspek keadilan dan kemanfaatan bagi
kelangsungan hidup mereka.
Hukuman Tindakan
Memang
benar, setiap anak yang melakukan perbuatan yang dilarang, harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun hal demikian tidak berarti bahwa
kenakalan anak disamakan dengan kejahatan orang dewasa. Negara sering beralasan
karena keterbatasan fasilitas maka anak nakal yang sudah diputus bersalah untuk
sementara ditempatkan di Lapas. Namun mengingat keterbatasan Lapas Anak di
Indonesia, bahkan kondisi Lapas sendiri, yang tidak sesuai dengan kejiwaan
anak, tentunya akan menggangu dan mempengaruhi kelangsungan hidup anak nakal
yang pernah menjalani hukuman di Lapas.
Hukuman
tindakan jauh lebih tepat diberikan dibanding pemidanaan. Hukuman tindakan
misalnya dikembalikan kepada orangtuanya dengan pengawasan, hal ini dirasakan
lebih adil dan bermanfaat demi menjamin masa depan si anak. Kalaupun tidak
dapat dikembalikan kepada orangtuanya seperti yang terjadi pada AH (karena
tidak mempunyai identitas orangtua yang jelas), anak nakal sebaiknya
ditempatkan di suatu lembaga sosial yang dapat membina mereka. Ini merupakan
suatu upaya tindakan, untuk tidak menggabungkan mereka dengan penjahat-penjahat
sesungguhnya (penjahat dewasa) di penjara.
Kendati
memang di dalam UU yang baru, yang mengatur tentang peradilan pidana anak (UU
No.11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), diatur adanya Lembaga
Pembinanaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), dan
Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS), efektif berlaku pada tahun
2014 mendatang, merupakan suatu terobosan baru dalam hal menanggulangi
permasalahan anak nakal. Namun demikian seperti apa penerapan UU ke depan,
perlu waktu untuk mempersiapkan semuanya.
Maka
dari uraian di atas, ada beberapa hal yang menjadi catatan penting, Pertama, fakta menunjukkan banyak anak-anak
yang tidak terurus, berkeliaran di jalanan sana, yang oleh pemerintah terjadi
pembiaran. Jika dilihat dalam UUD 1945 pasal 34 ayat (1) negara seharusnya
(berkewajiban) memelihara mereka. Karena anak-anak yang menerima ketidakadilan
ini kemudian berpotensi menjadi rusak dan membuat mereka menjadi anak-anak
nakal.
Kedua, hendaknya
perbuatan anak nakal jangan disamakan dengan kejahatan orang dewasa. Perbuataan
anak nakal kiranya dipandang sebagai akibat dari ketidakseimbangan lingkungan sosialnya. Lagi-lagi
hal tersebut merupakan bentuk ketidakadilan yang mereka terima dari lingkungan
sosialnya. Anak-anak sering dipandang rendah oleh orang dewasa di sekitarnya.
Padahal kita tidak pernah mengerti bahwa anak-anaklah yang akan meneruskan
cita-cita perjuangan bangsa di masa mendatang.
Kiranya
kedepan menjadi perhatian kita bersama, bahwa ketidakadilan yang diterima oleh
anak-anak selama ini utamanya anak nakal, sungguh sangat mengganggu masa depan
mereka. Memberikan sanksi tindakan merupakan hal yang tepat dalam membina dan
mengarahkan mereka. Sanksi tindakan dirasakan sudah adil, tanpa harus
memenjarakan mereka, karena penjara bukanlah tempat untuk anak.
Beniharmoni Harefa
Penulis
: pernah aktif pada Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) Nias, saat ini tinggal
di Yogyakarta.