Nias, HarNi : Perbedaan gender di Kepulauan Nias
yang kita cintai ini sudah menjadi suatu budaya. Salah satu faktornya adalah
norma dan adat yang berlaku di Kepulauan Nias membatasi kebebasan perempuan dalam
mengekspresikan diri layaknya sebagai kuadrat ciptaan Tuhan dimana tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara gender. Namun hal yang kita
temui di Nias jelas jauh beda dimana perempuan diperlakukan beda dari
laki-laki, meskipun sudah mulai ada perubahan seiring berkembangan wawasan
masyarakat Nias, namun di daerah-daerah terpencil dan terisolir di kepulauan
Nias masih banyak terdapat permasalahan gender.
Perempuan
Nias mengalami ketidak bebasan, mulai dari masih gadis maupun setelah dinikahkan
dan menjadi istri mereka berada dalam kuasa suami dan sering mengalami
penindasan dari para suami. Umumnya perempuan Nias sewaktu masih gadis
seolah-olah menjadi sebuah simbol kesucian yang harus dijaga. Maka haram
hukumnya jika gadis ngobrol atau berduaan dengan laki-laki karena itu dianggap
aib keluarga. Konsep ini telah mempengaruhi para orangtua untuk tidak
membebaskan anak gadisnya keluar sembarangan. Hal ini dilakukan agar simbol
kesucian itu tidak diabaikan atau perlakukan secara semena-mena oleh laki-laki.
Zaman dulu, kalau seorang laki-laki memegang tangan atau bagian lain dari tubuh
perempuan jika ketahuan maka, laki-laki akan di denda atau dihukum secara adat,
apalagi jika sampai hamil diluar nikah maka nilai “mböwö” atau jujuran seorang gadis
Nias menjadi rendah atau dibunuh, dikucilkan dan dijual. Sekarang praktek itu
sudah tidak dilakukan lagi.
Realita
adat dan norma inilah yang membuat perempuan Nias tidak diberi kebebasan.
Sehingga banyak perempuan Nias yang tidak diberi kesempatan untuk mengenyam
pendidikan tapi toröi ba mbanua bawanolo
satua. Setelah gadis Nias menjadi istri kedudukannya menjadi terbalik, dulu
yang tidak boleh perlakukan semena-mena sekarang diperlakukan semena-mena oleh
suaminya. Misalnya suami dengan sesuka hatinya memperlakukan istrinya,
menindasnya, dan mempercayakan tanggungjawab suami kepada istri yang seogianya
suami yang manejadi tulang punggung ekonomi keluarga, hal ini terbalik justru
istri yang kerja mencari nafkah keluarga. Contoh lain adalah dalam proses
pernikahan di Nias, emas, perak, uang dan babi menjadi takaran yang digunakan
dalam menentukan jujuran atau böwö. Maka
ada panggilan kepada perempuan yang sudah jadi istri di Nias yaitu umönögu
atau böli gana’agu (emasku atau
menantuku) dan menurut saya panggilan ini terlalu berlebihan karena perempuan
Nias dianggap sebagai sebuah barang yang bisa diperjual-belikan. Tradisi lain
yang membedakan laki-laki dengan perempuan adalah perempuan tidak mendapat
bagian dari warisan orangtua, perempuan Nias diberi tanggungjawab untuk memberi
böwö atau utang saat saudara
laki-lakinya menikah, perempuan Nias kerap kali dijodohkan oleh orangtua
meskipun anak gadis mereka tidak mempunyai rasa cinta kepada laki-laki yang
hendak dijohkan dan contoh lain masih banyak kita temukan dan masih
diberlakukan di Kepualauan Nias yang kita cintai ini.
Garis-garis
adat dan norma yang telah digarisakan oleh leluhur kita menurut saya ada
perlunya kita menyikapinya dan perlu penyempurnaan khususnya dalam perlakuan
yang berbeda antara laki-laki dan perempuan Nias. perempuan dan laki-laki
secara kuadratnya dan hak serta kewajibannya adalah sama, namun kenapa
praktek-praktek semacam itu masih saja terjadi di Kepulauan Nias ini. Kita
sebagai masyarakat Nias yang nilai religiusnya masih tinggi perlu memberi
perubahan dalam menjaga martabat perempuan, kebebasan berpendapat, kebebasan
berekspresi, menjauhi perempuan Nias dari kekerasan dan penindasan para suami,
kesetaraan dalam hak dan kewajiban, serta stop…! Memanggil Perempuan Nias yang
sudah menikah dengan panggilan mböli
gana’a. hal tersebut memang tak semudah membalikkan telapak tangan namun
mari kita mulai dari keluarga, komunitas dan masyarakat adat dimanapun kita
berada. Ya’ahowu @ 2012 Berkati Ndraha