Selamat Datang di Blog Berkati Ndraha untuk Ono Niha terimakasih atas kunjungan anda. punya kritikan dan masukan yang membangun serta tulisan atau artikel silahkan kirim ke email kami harian_nias@yahoo.co.id

Jumat, 07 September 2012

Bebaskan Perempuan Nias Sebagai Objek yang Tertindas


Nias, HarNi Perbedaan gender di Kepulauan Nias yang kita cintai ini sudah menjadi suatu budaya. Salah satu faktornya adalah norma dan adat yang berlaku di Kepulauan Nias membatasi kebebasan perempuan dalam mengekspresikan diri layaknya sebagai kuadrat ciptaan Tuhan dimana tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara gender. Namun hal yang kita temui di Nias jelas jauh beda dimana perempuan diperlakukan beda dari laki-laki, meskipun sudah mulai ada perubahan seiring berkembangan wawasan masyarakat Nias, namun di daerah-daerah terpencil dan terisolir di kepulauan Nias masih banyak terdapat permasalahan gender.


Perempuan Nias mengalami ketidak bebasan, mulai dari masih gadis maupun setelah dinikahkan dan menjadi istri mereka berada dalam kuasa suami dan sering mengalami penindasan dari para suami. Umumnya perempuan Nias sewaktu masih gadis seolah-olah menjadi sebuah simbol kesucian yang harus dijaga. Maka haram hukumnya jika gadis ngobrol atau berduaan dengan laki-laki karena itu dianggap aib keluarga. Konsep ini telah mempengaruhi para orangtua untuk tidak membebaskan anak gadisnya keluar sembarangan. Hal ini dilakukan agar simbol kesucian itu tidak diabaikan atau perlakukan secara semena-mena oleh laki-laki. Zaman dulu, kalau seorang laki-laki memegang tangan atau bagian lain dari tubuh perempuan jika ketahuan maka, laki-laki akan di denda atau dihukum secara adat, apalagi jika sampai hamil diluar nikah maka nilai “mböwö” atau jujuran seorang gadis Nias menjadi rendah atau dibunuh, dikucilkan dan dijual. Sekarang praktek itu sudah tidak dilakukan lagi.

Realita adat dan norma inilah yang membuat perempuan Nias tidak diberi kebebasan. Sehingga banyak perempuan Nias yang tidak diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan tapi toröi ba mbanua bawanolo satua. Setelah gadis Nias menjadi istri kedudukannya menjadi terbalik, dulu yang tidak boleh perlakukan semena-mena sekarang diperlakukan semena-mena oleh suaminya. Misalnya suami dengan sesuka hatinya memperlakukan istrinya, menindasnya, dan mempercayakan tanggungjawab suami kepada istri yang seogianya suami yang manejadi tulang punggung ekonomi keluarga, hal ini terbalik justru istri yang kerja mencari nafkah keluarga. Contoh lain adalah dalam proses pernikahan di Nias, emas, perak, uang dan babi menjadi takaran yang digunakan dalam menentukan jujuran atau böwö. Maka ada panggilan kepada perempuan yang sudah jadi istri di Nias yaitu  umönögu atau böli gana’agu (emasku atau menantuku) dan menurut saya panggilan ini terlalu berlebihan karena perempuan Nias dianggap sebagai sebuah barang yang bisa diperjual-belikan. Tradisi lain yang membedakan laki-laki dengan perempuan adalah perempuan tidak mendapat bagian dari warisan orangtua, perempuan Nias diberi tanggungjawab untuk memberi böwö atau utang saat saudara laki-lakinya menikah, perempuan Nias kerap kali dijodohkan oleh orangtua meskipun anak gadis mereka tidak mempunyai rasa cinta kepada laki-laki yang hendak dijohkan dan contoh lain masih banyak kita temukan dan masih diberlakukan di Kepualauan Nias yang kita cintai ini.

Garis-garis adat dan norma yang telah digarisakan oleh leluhur kita menurut saya ada perlunya kita menyikapinya dan perlu penyempurnaan khususnya dalam perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan Nias. perempuan dan laki-laki secara kuadratnya dan hak serta kewajibannya adalah sama, namun kenapa praktek-praktek semacam itu masih saja terjadi di Kepulauan Nias ini. Kita sebagai masyarakat Nias yang nilai religiusnya masih tinggi perlu memberi perubahan dalam menjaga martabat perempuan, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, menjauhi perempuan Nias dari kekerasan dan penindasan para suami, kesetaraan dalam hak dan kewajiban, serta stop…! Memanggil Perempuan Nias yang sudah menikah dengan panggilan mböli gana’a. hal tersebut memang tak semudah membalikkan telapak tangan namun mari kita mulai dari keluarga, komunitas dan masyarakat adat dimanapun kita berada. Ya’ahowu @ 2012 Berkati Ndraha